KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb,
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya makalah yang berjudul “Kebebasan Pers pada Masa Orde
Lama” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. makalah ini disusun sebagai
tugas untuk mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Keberhasilan penulis dalam penulisan makalah ini
tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu
diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Wonosobo, Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
A. Pendahluan
1.
Latar Belakang 1
2.
Ruang Lingkup 1
3.
Maksud dan Tujuan 1
B. Pembahasan
1.
Pengertian Pers 2
2.
Sejarah pers dan Etika Pers 3
a.
Sejarah Pers 3
b.
Etika Pers 9
C. Penutup
1.
Kesimpulan 12
2.
Kritik dan Saran 12
3.
Daftar Pustaka 13
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sejak
merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem
pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan
orde lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno. Didalamnya pers ikut
serta dalam melakukan perubahan-perubahan sistem pemerintahan.
Dalam
hal ini kami memilih tema tentang “Kebebasan Pers pada Masa Orde Lam” karena
didalamnya banyak terjadi hal-hal yang sangat bersejarah yang dapat diambil
sebagai pedoman pers masa kini.
2.
Ruang Lingkup
Ruang
lingkup yang akan saya sampaikan disini mulai dari pengertian pers, sejarah
pers dan etika dalam pers pada masa orde lama.
3.
Maksud dan Tujuan Penulisan
Kami
dalam melakukan penulisan makalah ini memiliki maksud untuk mempelajari tentang
kebebasan pers pada masa orde lama. Dan tujuan dari penulisanmakalah ini
sebagai berikut :
a.
Mempelajari tentang
pengertian pers.
b.
Mempelajari tentang sejarah
pers yang terjadi pada masa orde baru.
c.
Mengetahui etika tentang
pers masa lalu.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pers
Pers merupakan suatu
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan
berbagai jenis media dan saluran yang tersedia. Pers juga dapat dinyatakan
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan mengatur
kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya
sehari-hari sehingga dalam organisasinya pers akan menyangkut segi isi dan
akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya.
Ditinjau
dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka artinya
bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak pers juga mempengaruhi lingkungan
probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti. Situasi seperti
itu berbeda dengan sistem tertutup yang deterministik. Dalam buku “Four
Theories of the Press” dengan penulis; Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan
Wilbur Schramm. bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi;
1.
authoritarian press (pers otoritarian)
2.
libertarian press (pers libertarian)
3.
soviet communist press atau pers komunis soviet
4.
social responsibility press atau pers tanggung jawab sosial.
Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas
dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala
penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran.
Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat
kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
2.
Sejarah Pers dan Etika Pers
a.
Sejarah pers
Masa orde lama merupakan masa kepemimpinan Presiden
Soekarno yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966. Namun, sebenarnya
sejarah perkembangan pers nasional telah jauh dimulai sebelum itu. Pers
nasional, yang awalnya hanya berupa surat kabar dan radio, muncul sejak masa
pergerakan dan masa penjajahan, karena itulah pers pada masa itu dikenal
sebagai pers perjuangan karena pers menjadi alat untuk merebut kemerdekaan dari
penjajah (Indra, 1991: p. 66).
Pers
masa pergerakan dimulai sejak saat Belanda menjajah Indonesia, tepatnya sejak
munculnya surat kabar pertama di Indonesia yang benar-benar dikelola oleh orang
pribumi asli, yaitu harian Medan Prijaji yang merupakan
pelopor perkembangan pers nasional, yang terbit pertama kali pada tanggal 1
Januari 1907 di Bandung. Selanjutnya, muncul pergerakan oleh kalangan
intelektual modern yang berjuang dengan partai politik dan pers. Setelah
pergerakan Budi Utomo muncul pada tanggal 20 Mei 1908, pers nasional mulai
banyak bermunculan dan digunakan sebagai corong dari organisasi pergerakan
pemuda Indonesia. Karena itulah, pers masa pergerakan ini tidak dapat
dipisahkan dari momen kebangkitan nasional. Organisasi lain selain Budi Utomo
yang juga menerbitkan pers nasional adalah Indische Partij, Partai Nasional
Indonesia, dan Sarekat Indonesia. Pada masa ini berdiri pula kantor berita
nasional pertama, yang bernama Antara, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1937.
Namun, karena pers masa pergerakan bersifat anti penjajahan, masa pemerintah
Hindia Belanda melakukan sejumlah usaha untuk menekan dan menghentikan
aktivitas pers, salah satunya ialah dengan menutup usaha penerbitan pers
pergerakan tersebut. Gubernur Jenderal menggunakan kekuasaannya dengan hak
eksorbitan (exorbitante recht) dan melarang penerbitan koran, atau yang
disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Pemerintah Hindia
Belanda menetapkan Persbreidel-Ordonantie 7 September 1931 seperti yang dimuat
dalam Staatsblad 1931 nomor 394 jo Staatsblad 1931 nomor 44. Dalam peraturan
yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, disebutkan bahwa pihak
penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar dan majalah yang
isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak pencetak, penerbit dan
redaksinya tidak akan diberi kesempatan untk membela diri ataupun meminta
keputusan dari tingkat yang lebih tinggi (Almanak Pers Indonesia 1954-1955,
Lembaga Pers dan Pendapat umum).
Kewenangan
ini memaksa para pejuang nasional yang berani kritis di dalam pers maupun
partai politik, dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, dan koran-koran anti
penjajahan Belanda berhenti terbit. Selain itu, pemerintah Belanda menetapkan
ketentuan hukum pidana dalam pasal-pasal yang disebut haatzai artikelen, atau
pasal-pasal “karet”, karena sangat longgar dalam interpretasinya. Pembuktian
hukum untuk pasal-pasal pidana ini tidak melalui uji material atas perbuatan
pelaku atau efeknya, tetapi melalui perkataan atau tulisan yang
diinterpretasikan secara subyektif oleh penuntut yang mewakili pemerintah
Belanda (Siregar, 2008: 4).
Perkembangan
pers nasional selanjutnya terjadi pada masa penjajahan Jepang. Pada masa ini,
pers nasional mengalami kemunduran besar, karena pers pergerakan yang tadinya
berdiri sendiri-sendiri dipaksa bergabung menjadi satu untuk tujuan yang sama,
yaitu mendukung kepentingan Jepang. Pers nasional pada masa itu berubah sifat
menjadi pro Jepang dan hanya menjadi alat propaganda bagi pemerintah Jepang.
Namun, di akhir penjajahan Jepang, pers nasional, khususnya radio, memiliki
peran yang sangat besar dalam menyebarluaskan berita kekalahan Jepang di Perang
Dunia II sehingga Indonesia dapat lebih matang dalam mempersiapkan
kemerdekaannya (Latief, 1980: p. 9).
Setelah
penyerahan kedaulatan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia
mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan
berusaha menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada
masa itu adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan
di Jakarta pada tanggal 6 September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat
kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober 1945, harian Indonesia
Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh
Rosihan Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada
tanggal 29 Desember 1949 di Jakarta (Semma, 2008: p.113).
Pada
tahun 1945 sampai tahun 1949, Indonesia juga mengalami masa revolusi fisik,
dimana Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia. Sehingga, pada saat itu
pers Indonesia harus bersaing dengan Pers NICA yang diterbitkan oleh pihak
sekutu dan Belanda. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti
Belanda, Belanda menerbitkan beberapa surat kabar berbahasa Indonesia untuk
mempengaruhi rakyat Indonesia agar mau menerima kembali kekuasaan Belanda di
Indonesia, yaitu harian Fadjardi Jakarta, Soeloeh Rakyat di
Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, serta harian Padjadjaran dan Persatoean di
Bandung. Bulan Desember 1948, Indonesia mencetak 124 surat kabar dengan oplah
405.000 eksemplar, namun pada bulan April tahun 1949, jumlahnya menurun menjadi
81 surat kabar dengan oplah 283.000 eksemplar saja karena adanya Agresi Militer
Belanda (Semma, 2008: p.114).
Setelah
berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959,
Indonesia menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada
masa ini, pers nasional sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya,
terutama bagi wartawan politik. Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan
fungsi dari pers perjuangan menjadi pers partisan yang menjadi corong partai
politik. Setiap bentuk pers nasional umumnya mewakili aliran politik tertentu
yang berbeda. Pada masa ini terjadi peningkatan jumlah surat kabar Indonesia.
Pada tahun 1950, terdapat 67 surat kabar dengan 383.000 eksemplar, lalu pada
tahun 1957 terdapat 96 surat kabar dengan 888.950 eksemplar. Empat surat kabar
besar di Indonesia pada masa itu adalah harian Rakyat (PKI)
dengan 55.000 eksemplar, Pedoman (PSI) dengan 48.000
eksemplar, Suluh Indonesia(PNI) dengan 40.000 eksemplar, dan
harian Abadi (Masyumi) dengan 34.000 eksemplar (Semma, 2008:
p.115).
Akhirnya,
pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai
dasar negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa
ini, pers nasional menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong
penguasa yang harus mendukung kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers
berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa dalam memberikan informasi dan
mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan manipol dan setiap
kebijakan pemerintah (Semma, 2008: p. 113).
Penguasa
melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya
mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha
membuat pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam
kapasitasnya sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan
dekrit bahwa setiap penerbitan pers harus mendaftarkan diri terlebih dahulu
untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin Terbit). Agar ijin tersebut diperoleh, pers
harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto politik
Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme,
liberalisme, federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi
diharuskan menandatangani dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan
kewajiban untuk setia pada program manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri.
Tujuannya ialah menjadikan pers sebagai alat pendukung, pembela, dan penyebar
manifesto politik Soekarno (Semma, 2008: p.105).
Akibatnya,
pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol Soekarno. Wartawan
Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin sebagai pers
manipol. Setelah harian Indonesia Raya dilarang terbit pada
tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di Madiun bersama PM Sutan
Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, dan Soebadio
Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden
Soekarno (Semma, 2008: p.106).
Soekarno
kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan pemerintah
berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15
Mei 1963, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada
Menteri Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12
September 1962, kantor berita Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden
no.307/1962 (Semma, 2008: p.106).
Kantor
berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis, seiring
dengan semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian
sampai pada taraf kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan
bersifat pro-komunis. Surat kabar milik PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya
meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun 1964 dan terus meningkat menjadi
85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian mendorong para wartawan dari
10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan Pendukung Soekarno) gigih
menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita harian Rakyat
milik PKI melawan harian Merdeka milik B.M. Diah. Namun, Soekarno
ternyata lebih memihak PKI karena menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai
landasan kekuasaan daripada kaum nasionalis. Sehingga pada bulan Februari dan
Maret tahun 1965, 17 surat kabar yang tergabung dalam BPS dilarang terbit
(Semma, 2008: p.106).
Tak
menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita
Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan
Peraturan Nomor 29 yang menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9
partai politik yang ada. Aturan tersebut merupakan upaya Soekarno untuk
mengintegrasikan surat kabar agar partai-partai politiklah yang pertama
mengontrol surat kabar. Karena itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin
menerbitkan surat kabar Katholik. PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian
ditunjuk sebagai pemimpin redaksi dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian
Kompas terbit pertama kali. Surat kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah,
dari yang awalnya hanya berjumlah 692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat
tahun kemudian, pada tahun 1965, surat kabar di Indonesia berjumlah 114 dengan
oplah 1.469.350 eksemplar (Semma, 2008: p. 107).
Pada
masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang
awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah
menayangkan acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak
adanya studio khusus dan keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan
Yayasan Gelora Bung Karno, pemerintah membangun studio darurat sebagai studio
operasional TVRI yang memungkinkan siaran TVRI selama satu jam setiap harinya,
hingga akhirnya jam siaran TVRI terus bertambah dan pada tanggal 12 November
1962, TVRI mulai mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan sentral
dalam proses komunikasi politik pemerintah. TVRI adalah medium untuk
mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh konsensus nasional
tentang budaya nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan menjaga
kemurnian identitas bangsa. TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat
propaganda pemerintah untuk propaganda politik ke dalam dan ke luar negeri,
serta medium konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh pemegang
kekuasaan (Sudibyo, 2004: 279-281).
b.
Etika Pers
Jika
dilihat dari sejarah perkembangan pers masa orde lama dari awal tahun 1945
hingga tahun 1966, terjadi pergeseran dari pers perjuangan yang awalnya
berperan besar dalam membentuk nasionalisme rakyat Indonesia dan mampu
menggerakkan rakyat dalam merebut kemerdekaan, menjadi pers simpatisan yang
hanya menjadi corong partai politik tertentu. Sejak masa demokrasi liberal hingga
demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin terkekang dan mengalami hubungan
yang tidak harmonis dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah berusaha mengontrol
dan membatasi pers dengan mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang wajib
dimiliki setiap usaha penerbitan pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih
ingin menerbitkan surat kabarnya diwajibkan menandatangani dokumen
kontroversial berisi 19 pasal kewajiban pers untuk patuh dan mendukung manipol
Soekarno (Semma, 2008).
Disinilah,
etika jurnalistik para pekerja pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih
untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen
itu, yang artinya mereka harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka
diberangus dan dibreidel? Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen
tersebut demi kelangsungan surat kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan
editor, seperti Mochtar Lubis memilih menolak menyetujui dokumen tersebut
hingga akhirnya dipenjara selama 9 tahun dari tahun 1957 hingga tahun 1966.
Namun, kisah lain ditorehkan Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman,
salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan Anwar terpaksa
menandatangani dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap
hidup. Namun ironisnya, tak berapa lama kemudian, pada bulan Januari tahun
1961, harian Pedoman dilarang terbit karena dianggap lebih
memihak partai lain selain PKI yang berkuasa pada masa itu. Mochtar Lubis yang
saat itu sedang menjalani masa penahanan dan merupakan orang yang paling
menentang keberadaan dokumen tersebut kemudian memberikan informasi
kepada International Press Institute (IPI) bahwa Rosihan Anwar
telah menandatangani dokumen tersebut. Akibatnya, Rosihan Anwar untuk sementara
waktu dikeluarkan dari keanggotaaan IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI,
Rosihan berkilah bahwa itulah cara terbaik untuk tetap menjadi wartawan,
mendobrak penghalang dan tetap menjaga agar kepercayaan rakyat terhadap
demokrasi tetap hidup (Semma, 2008: p. 105-106).
Jika
ditinjau dari pendekatan etika komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada
Rosihan Anwar termasuk harian yang dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan
hal yang dipelajari dalam pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena
etika yang dikenakan merupakan etika komunikasi antar institusi jurnalistik.
Kebebasan pers era orde lama dapat dibedah dari empat bahan pembentuk etika
komunikasi.
Pertama,
berdasarkan standar moral, pada era orde lama, dapat dilihat bahwa
standar moral atau code of conduct yang berlaku spesifik untuk
profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa itu, kode etik jurnalistik maupun
undang-undang pers memang belum dirumuskan. Sehingga, para jurnalis di masa
orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup hebat. Di satu sisi mereka
ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai idealisme mereka masing-masing
dan kebebasan pers yang terjamin. Namun, di sisi lain, dengan adanya SIT yang
mengontrol isi materi jurnalistik, jurnalis tidak lagi leluasa menjalankan
kebebasan berpendapat mereka atau mengungkapkan kebenaran sesungguhnya kepada
publik.
Kedua,
melalui teori normatif sebagai perangkat yang menganalisis pola hubungan antar
institusi, kita dapat melihat bahwa pola hubungan negara dengan media massa di
Indonesia pada masa orde lama bersifat otoriter, dimana etika komunikasi
ditentukan dan tunduk pada pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang
terinternalisasi dalam diri jurnalis sebagai bagian dari etika komunikasi
muncul dari nilai-nilai dalam komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul pada
masa itu bisa jadi merupakan rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya
ancaman kehilangan pekerjaan dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun,
nilai-nilai sosial itu juga bisa berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana
para jurnalis berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ideologinya walaupun
itu bertentangan dengan pemerintah. Terakhir, berdasarkan nilai filsafat, yang
muncul dari kesadaran intelektual dan pendidikan karakter, jurnalis dapat
memilih prinsip hidupnya untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak
otoritas pemerintah tersebut.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pers merupakan suatu
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan
berbagai jenis media dan saluran yang tersedia.
Sejarah
pers bangsa Indonesia pada masa orde lama sangatlah panjang dan banyak sekali
peristiwa-peristiwayang terjadi didalamnya. Setelah penyerahan
kedaulatan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil
alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berusaha
menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada masa itu
adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di
Jakarta pada tanggal 6 September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat
kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober 1945, harian Indonesia
Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh
Rosihan Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada
tanggal 29 Desember 1949 di Jakarta.
Setelah berhasil
mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959, Indonesia
menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada masa ini,
pers nasional sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya, terutama bagi
wartawan politik. Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan fungsi dari
pers perjuangan menjadi pers partisan yang menjadi corong partai politik.
2.
Kritik dan Saran
3.
Daftar Pustaka
c. http://www.scribd.com/doc/2654690/MAKALAH-PERS
d. http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/01/definisi-pers.html
e. www.enformasi.com/2008/04/cerita-tentang-koran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar